KABAR SULTENG, – Suku Tomini merupakan salah satu suku yang bertempat di Daerah Tomini Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
FILOSOFI TOMINI
Suku Tomini yang berasal dari Sulawesi Tengah ini memiliki makna dan arti dari 2 kata yaitu To dan Mini. To yang berarti orang dan mini berarti kecil. Suku Tomini memiliki 2 sub suku yaitu Suku Lauje dan Suku Tialo.
Mereka mengklaim diri sebagai penduduk asli Teluk Tomini. Tepatnya diatas Pegunungan Palasa bernama Lembo Dayoan, masyarakat Suku Tomini mempercayai suatu cerita tentang asal mula kehidupan pertemuan langit dan bumi yang yang menyebabkan terjadinya Pulalah yaitu percampuran budaya dan bahasa diantara etnis yang ada di Sulawesi Tengah.
SEJARAH KERAJAAN TOMINI
Sebelum abad ke-17 masehi masyarakat Tomini sudah mulai ada di masa pemerintahan; pada saat itu mereka sudah mulai membentuk susunan pemerintahan sederhana, yang dipimpin oleh seorang Olongia (orang berpengaruh) yang bernama Alam dan Bergelar Olingia Jogugu Alam.
Borman menjadi raja Kerajaan Moutong dan juga raja Kerajaan Tomini pada tahun 1904-1924. Borman diangkat menjadi raja Kerajaan Moutong dengan wilayah Moutong sampai Tada.
Berikut raja-raja Kerajaan Moutong yang juga raja-raja Kerajaan Tomini:
1901-1924: Raja Borman,
1925-1927: Raja Lambakarang,
1927-1928: Raja Saenso Lahiya,
1929-1945: Raja Kuti Tombolotutu.
Raja terakhir adalah Raja Kuti Tombolotutu yang dilantik di Tomini.
Maka pemerintah Hindia belanda mengusahakan pengangkatan seorang raja yang resmi bernama Kuti Tombolotutu dan pelantikannya ditetapkan di desa Tomini, sebelum pengangkatan itu dilaksanakan, masyarakat Tomini mempersiapkan pelaksanaan acara pelantikannya yang harus sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di desa Tomini yaitu:
1. Raja disumpah dan di lantik duduk diatas batu
2. Istri raja harus duduk disamping raja serta duduk diatas batu
3. Saat pelantikan raja harus berjalan diatas kain berwarna putih, untuk tidak melanggar aturan adat diatas maka masyarakat tomin segera mencari dua buah batu besar, satu untuk di jadikan sebagai tempat duduk raja dan satu lagi sebagai tempat duduk sang istri yang mendampinginya ketika dilantik.
Baca Juga: Sejarah Sulawesi Tengah Pada Abad Ke-13
Batu-batu tersebut kemudian didapatkan dihulu sungai tomini yang diambil secara bergotong royong dengan rasa kekeluargaan sehingga kedua batu pelantikan tersebut sampai di tempat pelantikan yaitu dilapangan sepak bola tomini sekarang dikenal dengan nama lapangan batu raja tomini) yang berjarak ± 2 km dari hulu sungai.
Setelah kedua batu itu didapatkan acara pelantikanmu segera dimulai tetapi sebelum acara pelantikan itu dimulai dibentangkanlah kain berwarna putih sepanjang jalan yang dilalui oleh calon raja dan menuju tempat tempat pelantikan yang berjarak ± 450 M.
Dari tepi pantai ketempat pelantikan. Makna kain putih yakni suci hatinya dalam menjalankan pemerintahan sedangkan makna batu yakni keras hati untuk menegakan kebenaran dalam menjalankan pemerintahan.
Pada hari senin tanggal 10 juni 1929 resmi dilaksanakan pelantikan dalam acara pelantikan tersebut hadir pulah raja-raja tetangga dari daerah Sulawesi tengah dan dari daerah Sulawesi utara, Gorontalo, serta di hadiri oleh residen Manado, asisten residen Donggala kontroleur Parigi, dan seluruh rakyat kerajaan Moutong.
TRADISI DAN ADAT
Suku Tomini memiliki sebuah lembaga adat yang disebut Yelelumut. Institusi adat ini ada untuk mengatur bagaimana masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai aturan adat istiadat yang diajarkan turun-tumurun dari nenek moyang mereka.
Lembaga adat ini juga bisa memberikan sanksi adat bagi para pelanggar aturan adat. Pelanggar akan diadili secara adat di balai adat. Pengadilan adat ini bersifat kekeluargaan. Sanksi yang diberikan pun disesuaikan dengan besar kecilnya kesalahan, kemampuan ekonomi dan usia si pelanggar.
Contoh soal pohon beringin (nunu). Pohon ini bagi Suku Lauje adalah pohon keramat dan warganya dilarang keras untuk menebangnya, meskipun pohon tersebut tumbuh atau berada di tanah milik sendiri. Pelanggaran untuk menebang pohon beringin akan diberikan sanksi berupa denda uang dan piring tua (salamate).
Komunitas Suku Lauje terkenal hidup dari alam, oleh karena itu mereka sangat menghormati alam. Rasa cinta mereka terhadap alam salah satunya bisa dilihat dari Tradisi Moganoi yang masih berlangsung, seperti misalnya di Kecamatan Palasa.
Moganoi merupakan tradisi memberikan sesajen dalam rangka meminta restu kepada penguasa gaib yang dipercaya hidup dan menguasai lingkungan tersebut. Biasanya dilakukan sebelum seseorang membuka hutan.
Didampingi olongian (pemimpin adat) warga yang hendak membuka lahan di hutan terlebih dahulu mempersiapkan isi sesajen. Sesajen harus berupa buah pinang (mandulang), kapur (tilong), daun sirih tembako (taba’o), uang logam (do’i mo’oat). Setelah siap, lalu sesajen harus diletakkan di atas kain putih, ditata sedemikan rupa sehingga terlihat rapih.
AGAMA DAN SISTEM KEPERCAYAAN Sebagian masyarakat Suku Lauje sudah menganut Agama Islam, selebihnya adalah kristen. Meski sudah menganut Agama Samawi, sistem kepercayaan dari nenek moyang masih mereka hormati dan pertahankan, termasuk soal asal-usul merekamempercayai bahwa ada beberapa (dewa) yang mengatur kehidupan manusia di dunia.
Mereka juga mempercayai keberadaan roh-roh halus yang juga dipercaya memiliki tugas di dunia orang hidup dan membantu kehidupan orang-orang Suku Lauje.
Ada Togu Petu, Togu Ompongan dan Togu Ogo. Togu Petu bertugas menjaga tanah. Jadi berhasil atau tidaknya manusia bercocok tanam ditentukan oleh roh tersebut. Lalu Togu Ompongan dipercaya sebagai penguasa hutan belantara yang mengawasi tindak tanduk manusia di hutan.
Selanjutnya Togu Ogo bertugas sebagai penguasa sungai sekaligus penjaga air. Kepada roh-roh tadi Orang Lauje biasanya meminta restu sebelum melakukan aktivitas-aktivitas tertentu di sekitar tempat tinggalnya.
MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian hidup orang Suku Tomini adalah berladang. Yang mereka tanam utamanya padi dan jagung. Juga bertani sayur-mayur lainnya. Sebagai sambilan mereka juga mencari rotan untuk kerajinan tangan, beternak dan berburu.
PENDIDIKAN
Saat ini terjadi perkembangan pola pendidikan, masyarakat suku Tomini tidak lagi banyak ketinggalan dalam masalah pendidikan. Walaupun masih ada beberapa yang masih tinggal di pedalaman hutan mereka memilih tetap menyekolahkan anak-anak mereka setidaknya sampai jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Saat ini pula sudah ada beberapa sekolah darurat yang ada di pegunungan sekitar area tomini. DM
Ikuti juga berita menarik lainnya di saluran WhatsApp Official kabarsulteng.id klik disini