KABAR SULTENG – Peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) 2025 menjadi momentum bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk kembali menuntut pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA).
AMAN juga mendesak penghentian perampasan wilayah adat, kriminalisasi, serta kekerasan terhadap masyarakat adat dan para pejuangnya.
Sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama pada 17 Maret 1999, AMAN konsisten memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Namun, hingga kini, pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka masih minim.
Baca juga: Terjepit Tambang PT Vale: Kala Rumpun Pong Salamba di Morowali Dipaksa ‘Minggat’ dari Tanah Ulayat
AMAN menegaskan bahwa pengesahan RUU MA adalah kewajiban negara, bukan sekadar opsi kebijakan.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus segera bertindak.
“Sudah terlalu lama Masyarakat Adat menunggu keadilan. Pemerintah dan DPR harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, menghentikan perampasan wilayah adat, dan menjamin hak-hak kami yang telah dijamin oleh konstitusi,” tegas Rukka, Senin (17/3/2025).
Data AMAN mencatat hingga Maret 2025 terdapat 110 konflik yang melibatkan masyarakat adat, mayoritas terkait perkebunan skala besar, pertambangan, serta proyek infrastruktur dan energi dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN).
Selain itu, perampasan wilayah adat terus meningkat, mencapai 2,8 juta hektare pada 2024.
Meski RUU Masyarakat Adat kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, pemerintah dan DPR belum menunjukkan langkah konkret.
Pemerintah daerah pun dinilai lamban dalam pengakuan hak masyarakat adat, meskipun telah ada 350 regulasi daerah terkait.
Hingga saat ini, pengakuan wilayah adat baru mencapai 4,85 juta hektare, sementara penetapan hutan adat hanya 265.250 hektare dari potensi 23,2 juta hektare.