INDONESIA genap berusia 79 tahun, dan Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memainkan perannya sebagai benteng terakhir demokrasi dengan menolak permohonan perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia calon kepala daerah. Keputusan ini muncul saat Indonesia menghadapi momentum pilkada serentak.
MK berupaya memperbaiki citra institusi dengan menegaskan kembali posisinya sebagai lembaga yudikatif. Sebagai satu-satunya institusi yang berwenang menafsirkan konstitusionalitas norma undang-undang terhadap UUD 1945, semua pihak harus menghormati dan mematuhi putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Namun, sehari setelah putusan MK, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama DPD dan pemerintah mengadakan rapat membahas RUU Pilkada yang merujuk pada putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2024.
Tindakan legislatif ini menunjukkan adanya upaya mengabaikan putusan MK, yang jelas dapat disebut sebagai pembegalan konstitusi.
Konflik antar lembaga negara ini mencerminkan kegagalan prinsip check and balance. Jika DPR tetap mengesahkan RUU Pilkada tersebut, RUU ini berpotensi kembali diuji di MK dan kemungkinan besar akan dibatalkan lagi.
Kondisi ini tentu menciptakan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pilkada 2024.
Situasi ini tidak hanya berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap proses pilkada, tetapi juga bisa memicu perlawanan publik yang lebih luas, termasuk kemungkinan boikot terhadap pilkada serentak.
Reaksi masyarakat terhadap tindakan DPR terlihat dari berbagai demonstrasi yang digelar serentak di gedung DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta aksi dari kampus-kampus di Kota Palu untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
Namun, aksi di gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tengah justru direspon dengan tindakan represif oleh aparat kepolisian, yang mengakibatkan mahasiswa menjadi korban.
Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang konsep presisi yang selama ini digaungkan oleh Kapolri. Publik pun berhak mengutuk keras tindakan represif ini.
Kapolri perlu mengambil langkah tegas terhadap anggota kepolisian yang bertindak di luar prinsip “melindungi dan mengayomi” seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 yang mencerminkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Polri harus profesional dan segera mengusut tuntas kejadian ini untuk mencegah citra buruk di mata publik, karena sejatinya Polri lahir dari masyarakat sipil.***
Oleh: Yudi Prasetyo/Fungsionaris PB HMI