Ada Uang Ada Suara, Siapa Sebenarnya yang Membiasakan ?

Ada Uang Ada Suara, Siapa Sebenarnya yang Membiasakan ?
Rony Sandhi

Ada Uang Ada Suara, Siapa Sebenarnya yang Membiasakan ?

PEMILU sebentar lagi, ada kata yang biasa diutarakan di masyarakat kita saat momen Pemilu, Pilpres, Pileg, Pilkada “Ada Uang Ada Suara”.

Bacaan Lainnya

Kata tersebut tidak hanya sebuah lelucon, seakan menjadi kebiasaan di masyarakat kita dan mayoritas masyarakat pemilih menjadikan hal itu semacam pendapatan lima tahun sekali.

Sepertinya membeli suara seorang calon pemimpin di negara ini, pemimpin daerah maupun calon legislatif adalah hal biasa dan beberapa kalangan menganggap memang seperti itu adanya.

Pesta demokrasi pemilihan langsung menjadikan politik di negeri ini oleh sejumlah kelompok adalah momen meraup rupiah dengan menawarkan program, memiliki basis suara, sehingga banyak memunculkan “calo-calo” politik.

Baca juga: ‘Uji Nyali’ Anak Para Pesohor Sulteng di Politik 2024

Tiba-tiba ada yang mengaku sebagai konsultan politik, mengaku memiliki basis keluarga besar, memiliki dokumen dukungan KTP beratus-ratusa hingga beribu-ribu yang  pada buntutnya juga “Ada Uang Ada Suara”.

Siapa yang membiasakan politik dagang suara ini ?

Ada yang menyebut para calon sendiri yang menawarkan dan membiasakan masyarakat, dalam pertemuan sosialisasi, kampanye, tidak jarang para calon maupun timnya membagi-bagi amplop, bagi sembako.

Pada akhirnya kebiasaan itu menjadikan sejumlah masyarakat menjadi terbiasa, sehingga “Ada Uang Ada Suara” membuat masyarakat tak lagi melihat kualitas, kapabilitas calonnya, yang penting “Cair” itu yang menjadi pilihannya. Para calon dan timnya pun banyak yang memanfaat kebiasaan masyarakat itu dengan praktik money politik.

Baca juga: Dapil Neraka Kota Palu, Persaingan Ketat Caleg Incumbent dan Caleg Pendatang Baru

Walaupun tidak semua masyarakat seperti itu, tapi banyak, semakin banyak mungkin akan tambah banyak.

Ternyata pemahaman money politik tidak hanya soal pemberian uang, tapi juga dalam bentuk barang adalah pelanggaran Pemilu bisa dipidana baik yang memberi maupun yang menerima.

Banyak juga para calon yang tidak paham, yang akan membagikan paket sembako saat kampanye. Paket sembako akan dikemas dalam satu paket yang di dalamnya ada kartu nama, stiker ataupun APK lainnya.

Masyarakatpun juga banyak yang tidak paham, sehingga dalam setiap pertemuan sosialisasi atau kampanye selalu berharap ada amplop atau paket sembako. Kalau tidak ada siap-siap akan dicap calon pelit kalau orang sini bilang “Paipulu”.

Padahal secara aturan, dalam sosialisasi atau kampanye pemberian konsumsi baik berupa kue atau makanan semua ada batasannya. Bagi para calon memberi uang, memberi paket sembako jelas adalah politik uang, jika ditemukan bukti dipastikan akan diproses oleh Bawaslu.

Jangan gara-gara “Ada Uang Ada Suara” pemberi dan penerima terpaksa berurusan dengan hukum, Pidana Pemilu. Calon terancam pidana dan didiskualifikasi, si penerima akan repot ikut dipanggil dan diperiksa.

 

Oleh : Rony Sandhi/ Jurnalis di Palu

Pos terkait