POSO, KABAR SULTENG – Tekanan terhadap masyarakat Desa Watutau, Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, terus berlanjut.
Dalam rilis resmi Walhi Sulteng pada Sabtu 26 April 2025, beberapa bulan terakhir, sedikitnya 12 warga desa berkali-kali diperiksa oleh aparat kepolisian buntut dari aksi protes terhadap klaim sepihak Badan Bank Tanah (BBT) atas lahan yang selama ini digarap dan dikuasai masyarakat secara turun-temurun.
Terbaru, Pak Hartono, salah satu tokoh masyarakat Watutau, kembali dipanggil oleh pihak Polres Poso pada Rabu, 24 April 2025.
Ia akan diperiksa sebagai saksi atas dugaan salah satu Warga Desa Watutau melakukan Penghasutan kepada masyarakat untuk mencabut patok dan plang milik Badan Bank Tanah sebagaimana di atur dalam pasal 160 KUHP.
Padahal, tindakan warga mencabut patok yang dipasang secara sepihak oleh BBT merupakan bentuk protes damai, yang bahkan disalurkan secara tertib melalui penyerahan patok dan plang ke kantor kecamatan.
Baca Juga: Terima Sertifikat PROPER Biru, PT CPM Berkomitmen Jaga Lingkungan
Konflik Agraria: Bermula Dari HGU berakhir, BBT Masuk Tanpa Partisipasi Masyarakat
Sengketa ini berakar dari berakhirnya HGU PT HASFARM pada tahun 2021. Sejak saat itu, masyarakat Desa Watutau Kembali menggarap tanah tersebut, mengurusi penerbitan dokumen Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT), dan menjadikan lahan tersebut sebagai sumber mata pencaharian keluarga mereka.
Namun, pada tahun 2022, Badan Bank Tanah hadir dan secara sepihak mencaplok seluruh wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari HGU PT. HASFARM.
Temuan Lapangan yang dilakukan WALHI dan Koalisi Kawal Pekurehua menemukan fakta bahwa peta penguasaan BBT melebihi luas eks HGU PT. HASFARM.
Perbedaan signifikan antara peta resmi HGU dan klaim Badan Bank Tanah menimbulkan dugaan tindakan perampasan tanah oleh negara atas nama reforma agraria.
Lebih lanjut, penerbitan Hak Pengelolaan (HPL) oleh BPN kepada BBT dilakukan tanpa peninjauan lapangan dan tanpa melibatkan masyarakat lokal, suatu pelanggaran serius terhadap prinsip partisipasi dalam reforma agraria sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 74 Perpres Nomor 62 Tahun 2023.
Penyerahan Pembar Fakta dan Kajian Hukum ke Pemda: Desakan Resmi untuk Perlindungan Rakyat
Merespons situasi yang semakin memprihatinkan, pada Kamis, 25 April 2025, WALHI bersama Koalisi Kawal Pekurehua secara resmi menyerahkan dokumen Lembar Fakta dan Kajian Hukum kepada Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, dr. Reny Arniwaty Lamadjido, di Kantor Gubernur Sulteng, Palu.
Penyerahan ini dilakukan secara terbuka dan didampingi langsung Ketua Harian Satgas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA), Eva Bande
.
Dokumen yang diserahkan diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut:
Kronologi konflik dan data nama-nama warga yang dikriminalisasi,
Bukti perbedaan peta klaim BBT dengan peta eks HGU PT. HASFARM,
Kajian dan Analisis hukum penerbitan HPL tanpa partisipasi masyarakat,
Penilaian pelanggaran terhadap prinsip partisipatif dalam Reforma Agraria berdasarkan Perpres 62 Tahun 2023,
Permintaan konkret perlindungan terhadap masyarakat Watutau dan evaluasi atas tindakan BBT dan aparat penegak hukum.
Dalam pertemuan itu, WALHI dan Koalisi Kawal Pekurehua secara tegas meminta Gubernur dan Wakil Gubernur untuk turun tangan menyelesaikan konflik serta menghentikan praktik kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan haknya atas tanah yang telah mereka kelola sejak puluhan tahun.
“Kami menantang Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah untuk menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Gubernur tidak boleh terlihat tak berdaya atas Tindakan apparat kepolisian dan Badan Bank Tanah yang saat ini sedang menghimpit masyarakat Desa Watutau demi kepentingan korporasi atau birokrasi agraria yang tidak berpihak,” ujar Bonar, Kepala Departemen Organisasi Walhi Sulteng.
Reforma Agraria yang Melenceng: Ke Mana Arah Badan Bank Tanah?
Dalam kajian yang diserahkan, WALHI menyoroti bahwa pendekatan Badan Bank Tanah dalam kasus ini justru melenceng jauh dari mandat Reforma Agraria yang adil dan berkeadilan sosial.
Alih-alih mempercepat distribusi tanah untuk rakyat kecil, BBT justru menjadi alat baru yang memfasilitasi penguasaan ulang tanah oleh negara tanpa memperhitungkan keberadaan masyarakat yang telah hidup dan menggantungkan hidup dari tanah tersebut.
“Padahal sangat jelas Perpres 62 Tahun 2023 menyebut bahwa percepatan reforma agraria harus Melalui partisipasi masyarakat pada Pasal 2 ayat (1) huruf e, Melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dalam Pasal 74, hingga pada level Menyelesaikan konflik agraria dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun pada prakteknya, BBT Justru melakukan hal-hal yang bertentangan sedang semau tentutan tersebut”. Tegas Sandy Prasetya Makal, Manager Kajian dan Analisis Hukum Walhi Sulteng.
Kriminalisasi Masih Terus Berlanjut
Atas Laporan Polisi nomor : LP/B/116/VIII/2024/Sulteng/Res Poso/Poldasulteng tanggal 1 Agustus 2024 yang dilayangkan oleh Pihak Badan Bank Tanah terhadap Masyarakat Desa Watutau, hingga kini proses tersebut telah masuk pada tahap Penyidikan berdasarkan surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/116/IX/Res 1_10//2024/Reskrim, Tanggal 30 September 2024.
Tercatat telah 12 Orang dipanggil dan di periksa baik di Polres Poso maupun di Polsek Lore Peore. 2 diantaranya adalah Perempuan/Ibu Rumah Tangga.
Manager Hukum Walhi, Sandy Prasetya Makal, menurutkan bahwa Proses penyidikan ini semakin menguatkan dugaan bahwa pihak Kepolisian dan Badan Bank Tanah tidak akan menghentikan Upaya kriminalisasi terhadap Masyarakat.
Sebap pemanggilan terus berlangsung dan pemeriksaan pula terus dilangsungkan.
Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada yang ditetapkan sebagai tersangka, pula di lakukan penahanan.
“Polisi seharusnya tidak serta-merta menggunakan hukum pidana sebagai alat represi. Kita punya asas ultimum remedium, bahwa hukum pidana adalah jalan terakhir, bukan alat utama menghadapi konflik agraria,” Sambung Sandy.
Rekomemdasi Pemulihan Hak Atas Tanah
Beberapa rekomendasi konkret yang diajukan WALHI dan Koalisi Kawal Pekurehua kepada para pihak agar dapat dijalankan mengingat situasi yang semakin mendesak. diantaranya:
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk segera menindaklanjuti dokumen kajian hukum tersebut dan memanggil serta memeriksa para pihak terkait seperti BBT, BPN dan Bupati Poso.
Aparat Kepolisian khususnya Polres Poso agar menahan diri dan tidak serta merta merespon dengan Proses Pidana Terhadap Masyarakat yang memperjuangkan Tanahnya.
Termasuk untuk menghentikan penggunaan Pasal 160 KUHP sebagai alat represi terhadap aksi protes damai warga, Satgas PKA untuk memastikan proses penyelesaian konflik agraria berjalan transparan dan adil.