Jakarta, kabarsulteng.id – Anggota Komisi I DPR RI Desy Ratnasari mempertanyakan kesiapan Pemerintah terkait Ratifikasi Konvensi Internasional untuk Pelindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa ke dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU).
Sebab, menurutnya, berbicara terkait ratifikasi, maka akan berkaitan dengan kewajiban yang harus dilakukan bagi suatu negara yang sudah melakukan ratifikasi.
“Pertanyaan saya untuk Dirjen Hak Asasi Manusia maupun dari Dirjen Strategi Pertahanan dan Keamanan, Dirjen Kerja Sama Multilateral, dan juga sebagainya, (yaitu) sudah siapkah kita menjalankan kewajiban itu secara konsisten? Karena tidak hanya sekadar setelah selesai diratifikasi lalu kemudian selesai tugas,” ujar Legislator DPR RI Desy Ratnasari dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) di Senayan, Jakarta, dikutip dari laman resmi DPR RI, Selasa 31 Januari 2023.
Baca juga: Komisi III DPR RI Minta Poisi Bidik Bandar Judi Online
Ia meyakini bahwa untuk meratifikasi konvensi internasional ini harus dipikirkan matang-matang. Dikarenakan semua hal harus dilaporkan secara berkala kepada komite penghilangan paksa mengenai langkah-langkah, baik itu yang bersifat administratif, legislatif, dan juga teknis sesuai dengan persyaratan dalam konvensi.
Kesiapan pemerintah itu, menurutnya, juga menyangkut konteks legalitas dan kebijakan hukum.
“Seberapa siapkah kita dalam legal ataupun dalam urusan dalam konteks legalitas, dalam konteks kebijakan hukum, yang sudah ada untuk tetap bisa menjaga kasus penghilangan paksa walaupun tidak ada yang spesifik berbicara tentang penghilangan paksa dalam KUHP misalnya, tapi hal itu bisa mengcover jika itu adalah kasus penghilangan paksa di masa mendatang jika hal ini tidak diratifikasi?” ujar Politisi Fraksi PAN itu.
Ia pun menyoroti potensi-potensi yang muncul, sebagai dampaik dari adanya ratifikasi tersebut, baik secara eksternal maupun internal. Karena itu, ia berharap jangan sampai ratifikasi Konvensi Internasional untuk Pelindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa ini hanya menjadi kesenangan di awal tanpa ada kesiapan dalam komitmen, konsistensi, dan implementasi selanjutnya.
“Jangan sampai, kalo kata orang Sunda, ceuyah. Ceuyah di awal, tapi kateteran di tukang. Maksudnya, kayaknya kita senang, asyik, kita udah hebat ini meratifikasi hak asasi manusia, ini sudah lengkap ratifikasinya, tapi dalam konteks komitmen, konsistensi, dan implementasi, gedebak-gedebuk semuanya,” tutupnya.***