Oleh : Rizaldy Alif Syahrial
Pendidikan dan ekonomi merupakan dua hal yang berbeda tetapi sangat erat kaitannya. Kedua hal ini bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa saling terpisahkan. Bagi Pemuda dan Pemudi dari Timur, kedua hal ini layaknya lingkaran setan yang tak tahu awalan dan akhirnya.
Jika dikatakan tingkat dan kualitas pendidikan adalah sebab kemiskinan, maka akan ada yang mengatakan bahwa anak timur tidak dapat pendidikan yang layak disebabkan orang tua miskin dan tak mampu membiayai pendidikan. Jangankan memikirkan dan memimpikan kualitas pendidikan sekelas internasional school, bahkan banyak anak timur memiliki orang tua yang hanya mampu memenuhi makan 2 kali sehari bagi anak-anaknya. Untung-untung bisa memenuhi kebutuhan gizi bagi anak timur.
Jangan heran tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi sangat miris jika kita sejenak memperhatikan data yang ada.
Lalu, Siapa yang keliru dalam hal ini ?
Jawabanya : Tak ada. Justru kekekeliruan ada pada diri kita jika tak mengubah status quo.
Sebagaimana yang diketahui, pada tahun 2021 sebanyak 16 provinsi memiliki angka kemiskinan di atas rata-rata nasional, tiga di antaranya di atas 20%. Sisanya 18 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata.
Menjadi sebuah kemirisan bagi anak timur ketika mayoritas dari Provinsi “Miskin” berada dalam wilayah Indonesia timur. Sebut saja Wilayah Gorontalo, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara, dan Papua. Bahkan, Tingkat kemiskinan di Papua masih jadi yang tertinggi di Indonesia per Maret 2021.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di provinsi Papua mencapai 26,86% atau 920 ribu jiwa dari total penduduk. Artinya, lebih dari seperempat penduduk di Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Tetangga Provinsi Papua yaitu Provinsi Papua Barat memiliki tingkat kemiskinan terbesar kedua, yakni 21,84%. Dengan demikian, satu dari lima penduduk di Papua Barat masuk kategori miskin.
Selain data kemiskinan, jika dilihat dari angka putus sekolahpun memiliki persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Kondisi pendidikan Indonesia Timur sangat memprihatinkan, banyak anak-anak yang putus sekolah. Sebagaimana dipublikasikan dalam buku Indonesia 2045 yang ditulis oleh Komunitas Mata Garuda, bahwa terdapat sekitar 800 ribu anak-anak putus sekolah di kawasan Indonesia Timur.
Selain itu, kawasan Indonesia Timur juga masih memiliki angka buta huruf yang tinggi. Bahkan, 3 provinsi dengan presentase tertinggi penduduk yang buta huruf berasal dari provinsi di wilayah Indonesia Timur. Wilayah tersebut antara lain Provinsi Papua (36,31 persen), Nusa Tenggara Barat (16,48 persen) dan Sulawesi Barat (10,33 persen). Di wilayah Papua, perkembangan pendidikan terbilang yang paling memprihatinkan. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Papua masih rendah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 50% anak-anak usia sekolah (3-19 tahun) tidak mendapatkan pendidikan di sekolah. Hal tersebut disebabkan banyak hal, mulai dari minimnya fasilitas belajar mengajar hingga Kualitas pengajar yang kurang kompeten.
Selain tingkat Pendidikan formal, tingkat literasi di Indonesia Timur terbilang rendah dibanding wilayah lain. Sebagai perbandingan, Anak-anak di Pulau Jawa, Bali dan Sumatra dianggap lebih tinggi tingkat literasinya dibandingkan dengan anak-anak di Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi hingga Papua.
Menurut para ahli, ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak di Indonesia Timur tertinggal jauh dibandingkan anak-anak Indonesia bagian lainnya. Pertama karena tingkat perkembangan masyarakat dari aspek konsumsi gizi dan pangan. Kedua karena perawatan kesehatan itu juga timpang di Indonesia Timur. Padahal ketika akses nutrisi dan kesehatan ini baik, maka akan menghasilkan anak-anak dengan kecakapan berpikir, kognitif dan daya nalar yang
tinggi.
Kesadaran kita bahwa Kondisi gizi yang tidak sebaik anak-anak di wilayah lain sangat erat dengan tingkat ekonomi masyarakat timur. Selanjutnya menurut para ahli, Selain aspek gizi yang menyebabkan keterbelakangan di Indonesia Timur, kurangnya stimulasi bahan bacaan berkualitas juga menyebabkan anak-anak di timur mengalami ketimpangan dalam hal wawasan.
Benar bahwa dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat, sejak 2016 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan program Gerakan Literasi Nasional yang terdiri dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun tantangan program GLS masih cukup besar. Pertama, kondisi sarana dan prasarana untuk mendukung program GLS, yakni perpustakaan dan tenaga pengelola perpustakaan sekolah masih jauh dari memadai.
Jumlah perpustakaan SD terdata sekitar 61,45 persen dari seluruh jumlah sekolah, tetapi hanya 19 persen di antaranya dalam kondisi baik. Jumlah perpustakaan SMP sebanyak 76,25 persen dan hanya 22 persen dalam kondisi baik. Jumlah perpustakaan SMA yang terdata sekitar 76,40 persen dan hanya 33 persen dalam kondisi baik. Pun jumlah perpustakaan SMK sejumlah 60,34 persen dan hanya 27 persen dalam keadaan baik. Hal ini diperkuat dengan data Perpusnas RI pada 2015 yang menyebut dari 170.647 Sekolah Dasar di Indonesia, hanya 45,9 persen diantaranya yang memiliki perpustakaan. Sisanya sekitar 92.000 sekolah dasar tidak memiliki perpustakaan dan daerah tersebut dominan berlokasi di daerah Indonesia Timur, mulai dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Maluku hingga Papua.
Dari gambaran Data yang ada, sangat terlihat ekualitas Pendidikan dan ekonomi yang belum tercapai, khusunya bagi daerah-daerah di Wilayah Indonesia Timur.
Miris bukan ?
Tentu Sebagian besar dari kita akan mengatakan miris. Daerah timur selalu disematkan daerah yang kaya tetapi data mutakhir menunjukkan ketidakberdayaan provinsi-provinsi di Timur Indonesia untuk memenuhi janji kemerdekaan. Tentu perlahan-lahan pemerintah melakukan upaya yang dapat dilakukan. Mulai dari pelan-pelan meningkatkan kualitas guru hingga setahap demi setahap membangun fasilitas pendidikan yang layak.
Dari semua kondisi yang memiriskan, kemudian timbul pertanyaan selanjutnya, Dimanakah posisi dan partisipasi Anak muda timur yang terpelajar dalam mengatasi persoalan itu ?. Persoalan yang erat kaitannya dengan kemiskinan dan kebodohan. Padahal janji kemerdekaan soal mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai kesejahteraan masyarakat harus segera ditunaikan. Anak Muda Timur dari Timur Indonesia harus secepatnya mengambil peran yang kolaboratif demi menyelesaikan masalah tersebut.(*)
Penulis merupakan Co-Founder Pondok Pemuda Indonesia.
*Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis