Oleh: Moh. Taufik Abdullah
Peneliti Institut Kajian Keuangan Negara dan Kebijakan Publik (IK2NKP)
Dengan berlimpahnya dana yang ditransfer pemerintah daerah memungkinkan figur sentral pemerintah daerah, menghadirkan dirinya sebagai patron yang sangat disayangi rakyat, dan memang secara dahsyat dalam pemilihan kepala daerah. Di sisi lain, ada keperluan untuk memberikan justifikasi formal terhadap apa yang dilakukannya. Rezim paternalistik yang terbentuk, disatu sisi memelihara cara kerja Orde Baru, namun kerapuhan teknokrasi dalam mengelola uang dalam jumlah besar menjadikan kinerja pemerintahan selalu sub optimal, kalau tidak dikatakan buruk.
Dalam rezim yang mungkin bisa dijuluki sebagai formalistik-elitis, elite lokal yang menjadi figur sentral setempat membajak demokrasi karena tiadanya kendala baginya untuk mengeksploitasi posisinya sebagai elite. Mereka berhasil menunggangi posisi dan cara kerja negara yang formalistik, setelah berhasil memobilisasi dukungan publik dengan membagi-bagikan paket-paket dana ataupun kesejahteraan, yang berada dalam genggaman kekuasaannya.
Rezim yang sifatnya seperti ini, terkonsentrasinya uang negara pada elite lokal setempat merangsang kecerdikan untuk menikmati kekuasaan negara. Dalam set-up yang lain, watak demokratisasi indonesia yang tergantung pada tokoh, juga menjadikan elite lokal setempat dengan entengnya mengabaikan negara manakala adat bisa ditungganginya.
Harap dicatat, konsentrasi dana yang ada dalam kendali elite lokal memungkinkan dirinya berkiprah melampaui batas-batas yuridiksi kekuasaan karena instalasi untuk operasi kekuasaan berada dalam informalitas jejaring sosial. Di sinilah tantangan bagi pelembagaan demokrasi secara kontekstual di setiap lokalitas menghadang.
Set-up dalam rezim lokal tidak menyediakan manuver yang memadai, fragmentasi dan kontestasi elite dilakukan sekedarnya. Solusi-solusi yang dicapai tidak bersifat mendasar, bukan karena ingin pragmatis melainkan karena kendala strukturalnya sangat serius. Seperti itulah suasana perpolitikan dalam rezim pruralis-kompromistik.
Peta Opini WTP
Fenomena hasil monitoring dan evaluasi atas pengelolaan keuangan yang tercermin dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi salah satu tolok ukur kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah. Evaluasi tahunan yang berbentuk audit menghasilkan opini penilaian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pelaksanaan APBD ‘kabupaten/kota’. Opini penilaian tersebut mendapat respon beragam dari berbagai pihak, terutama pemerintah daerah yang tampaknya ‘tidak senang’ dengan opini tidak memberikan pendapat (disclaimer). Sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004 bahwa ada empat kriteria opini penilaian yaitu wajar tanpa pengecualian (WTP), wajar dengan pengecualian (WDP), tidak memberikan pendapat (TMP), dan tidak wajar (TW).
Reformasi pengelolaan keuangan negara dan daerah akan dapat dilakukan meliputi beberapa aspek yaitu: 1) perubahan pola penganggaran tradisional, 2) anggaran dengan horison jangka menengah (MTEF), 3) pola manajemen terpadu, 4) orientasi program dari pendekatan input ke output (money follow function), 5) accountability: performance measurement 6) transformasi SKPD/Unit Kerja sebagai ‘autonomous agency (BLUD)-Quasi Public Goods, 7) Public Investment (permanen/non-permanen), 8) meningkatnya lapangan pekerjaan, 9) meningkatnya PAD, dan 10) peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.
Dewasa ini potret permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dikategorikan pada tahapan manajemen pengelolaannya yaitu perencanaan atau penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan atau pertanggungjawaban. Permasalahan yang timbul dalam tahap perencanaan atau penganggaran antara lain: 1) kemampuan fiskal daerah rendah, terutama daerah pemekaran, seperti DAU hanya untuk gaji dan biaya operasional, 2) Keterlambatan penetapan Perda APBD, 3) Anggaran belum berorientasi pada kinerja, 4) Belum adanya perubahan pola pikir (mind set), dan 5) Belum optimalnya pembinaan Gubernur kepada kabupaten/kota dalam bidang pengelolaan keuangan daerah.
Kecerdikan Rezim Mendominasi
Memang, opini audit WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan BPK menjadi idaman bagi para pengelola keuangan Negara. Para pejabat kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah berlomba-berlomba memperoleh opini tersebut. Terlebih, pemerintah menjadikan opini WTP sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan tata kelola yang baik (good governance). Untuk kepala daerah yang berlaga dalam pemilihan kepala daerah, opini WTP menjadi isu positif yang bisa dijual kepada masyarakat.
Namun masalahnya, opini WTP ternyata tidak menjamin bebas dari korupsi. Di beberapa lembaga yang memperoleh WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi. Misalnya, di Sumatera Utara, mendapat WTP tapi Gubernur terlibat korupsi (2015) juga Kementerian Agama mendapat WTP, belakangan ditemukan korupsi, bahkan Menteri Agama terjerat korupsi. Hal sama terjadi di beberapa lembaga pemerintah.
Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjualbelikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi tidak baik. Sebab, masyarakat tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah. Padahal, dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.
Penelitian Unti Ludigdo (2007), Opini Mulawarman (2008), Alimuddin-Muhammad Ruslan (2016), menggambarkan secara materil hal itu, bagaimana kepentingan kedua belah pihak (auditor dan yang diaudit) bertemu secara kompromistis dalam suatu relasi saling menguntungkan satu sama lain. Antara pihak yang diaudit menginginkan opini audit terbaik atas laporan keuangannya dan pengaudit berkepentingan terhadap fee. Dalam konteks ini tidak terjadi apa yang disebut konflik agen-principal, melainkan justru bertemu melahirkan perselingkuhan intelektual.
Ini mengingatkan saya pada kritik keras yang pernah diungkapkan Kwik Kian Gie di Kompas, 1996 yang mengkritik lemahnya proses prosedural kerja audit KAP dalam negeri. Kwik bahkan “menembak” kelemahan dasar ini pada standar audit yang dimiliki oleh ikatan akuntan saat itu. Apa yang dikritik Kwik, menurut saya bahkan masih relevan hingga saat ini. Suatu proses kerja audit yang pada penerapan praktiknya sangat terbatas pada aspek kebenaran formal semata, sehingga cenderung tidak mampu menjaring persoalan-persoalan substansial yang ada.
Kwik mencotohkan, “Bagaimana mungkin Bank Summa, hingga Bank Duta menjelang jatuhnya justru masih menunjukkan laporan akuntan publiknya tanpa kualifikasi (WTP)?”. Ini kalau digiring ke sektor publik, tidak jauh beda dengan banyaknya kasus-kasus pemerintah kota yang mengantongi opini WTP oleh BPK, tapi tiba-tiba terjerat kasus korupsi di kemudian hari. Lantas lagi-lagi opini WTP itu untuk apa?
Kelemahan dasar dari proses kerja audit selama ini adalah apa yang disebut Kwik sebagai kenyataan dimana audit hanya mengejar kebenaran formal semata. Sedangkan pada kenyataannya kita berhadapan lembaga/perusahaan yang sangat korup. Yang akhirnya membuat kebenaran formal bisa meleset sangat jauh dari kebenaran material. Itulah sebabnya hasil audit yang ada tidak pernah mampu menjaring persoalan-persoalan material ini, seperti korupsi, mark-up, dan lain sebagainya.
Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat “rekayasa” yang disusun sangat rapi sehingga sulit dideteksi. Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum.
Namun karena itulah alasan auditor terpatri pada ungkapan klasik ini “Opini WTP, tapi tidak menjamin bebas korupsi” memang benar secara positivistik (apa adanya). Namun kita bisa mengatakan bahwa hal ini juga tidak sepenuhnya bisa dikatakan benar secara normatif (bagaimana seharusnya).
Benar bahwa WTP tidak menjamin adanya korupsi, kalau struktur kerja pemeriksaan memang terbatas pada kebenaran formal semata, seperti yang dipraktikkan saat ini. Dengan sebatas menjadikan pemeriksaan sebagai bentuk afirmasi atas administrasi penyajian laporan keuangan yang mesti sesuai dengan standar akuntansi SAK/SAP. Dalam hal ini hanya fokus pada administrasi penyajian pelaporan keuangan yang sebatas sampai pada tahap pengafirmasian bukti.
Tapi opini audit seharusnya bisa memberikan jaminan atas kemungkinan terjadinya kecurangan, penyimpangan, dan korupsi, kalau struktur kerja audit melampaui dari sekadar pemeriksaan formal seperti itu. Dengan menelisik masuk pada ranah audit kinerja dan audit investigatif. Dan ini yang nyaris tidak pernah dijadikan konsen pihak audit dalam melakukan pemeriksaan. Padahal jenis audit inilah yang bisa memberikan kepastian bahwa opini audit WTP memang benar-benar bisa dipercaya dalam arti ketercapaian kinerja dan keterbebasan pengelolaan keuangan dari praktik kecurangan dan korupsi.
Daerah Kabupaten Buol sebelum beberapa kali Mendapatkan WTP tidak pernah terdapat Korupsi?
Masyarakat harus menyadari bahwa opini WTP merupakan penilaian atas kewajaran laporan keuangan yang dihasilkan dari pemeriksaan keuangan bukan jaminan tidak ada korupsi. Sepanjang tidak ada penyimpangan yang material dari standar akuntansi, maka opini WTP bisa diberikan.
Jika dimaksudkan untuk menemukan korupsi, maka lebih tepat melalui audit investigatif. BPK sebagai lembaga audit negara, selain memeriksa laporan keuangan juga perlu meningkatkan jumlah dan kualitas pemeriksaan investigatif. Jika hal ini dilakukan oleh BPK, maka keluhan soal opini WTP tapi korupsi kok jalan terus akan makin berkurang. Walhasil, ke depan sudah semestinya makin banyak pemda dan instansi lain menerima opini WTP, maka makin berkurang pula korupsinya. Sebab kita sebenarnya menginginkan agar opini audit benar-benar mewakili (trust) kepercayaan publik secara utuh. Termasuk dalam hal memberi publik kepastian akan kinerja dan kepastian-kepastian bahwa pihak yang diaudit memang benar-benar bersih. Hanya dengan seperti ini kepercayaan terhadap lembaga audit bisa pulih, dan opini audit bisa benar-benar bermanfaat. Bermanfaat secara substansial, dalam hal melampaui dari sekadar formalitas dengan memenuhi prasyarat administrasi semata.
Penulis Merupakan Mahasiswa Universitas Trisakti, Program Magister Ekonomi, Jurusan Ilmu Ekonomi, Konsentrasi Kebijakan Publik.
(Tulisan ini diluar Tanggung Jawab Redaksi dan sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis)