Oleh : Dimansyur Lewa
Setiap tahunnya, International Women’s Day diperingati pada tanggal 8 Maret, ini merupakan bentuk penghormatan sejarah perlawanan perjuangan perempuan yang menciptakan revolusi, kesetaraan sosial, politik, ekonomi, budaya dan kedudukan hukum.
Refleksi perjuangan perempuan harusnya terus dikobarkan dalam semangat kemajuan kesadaran perempuan diruang ruang publik, sejarah telah mencatat bahwa suatu kemajuan peradaban tidak lepas dari peranan perempuan pun begitu dengan kemerdekaan bangsa kita.
Tiada kemerdekaan yang hakiki tanpa pembebasan perempuan, kemerdekaan bangsa Indonesia pun tidak lepas dari keikutsertaan perempuan dalam melawan kolonialisme.
Di abad 21, kita sedang berperang melawan kapitalisme, penjajah yang tak harus berperang angkat senjata secara terbuka untuk membunuh rakyat, cukup dengan mengutak-atik sistem kebijakan negara sudah dapat menguasai alam dan manusianya.
Kapitalisme melahirkan Ketimpangan sosial, ekonomi, politik, budaya dan kedudukan hukum, hal ini menjadi salah satu pemicu atas kekerasaan terhadap perempuan, sementara perempuan dijebak pada urusan domestiknya agar tak mau melibatkan diri untuk mengintervensi sistem kebijakan yang dapat mengangkat kembali kesetaraan gender.
Saat ini, regulasi telah mengatur hak keterlibatan perempuan di politik hanya 30%. Angka ini menunjukan bahwa persentase yang disiapkan oleh negara sangatlah minim, apakah ini adil? Sementara angka kekerasan terhadap perempuan pun terus meningkat di Sulawesi tengah.
Data yang dirilis oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah pada tahun 2020 ada sebanyak 323 kasus kekerasan pada perempuan dan anak, angka ini terbilang cukup tinggi ukuran wilayah dengan hanya 13 kabupaten/kota.
Sementara itu, Kabupaten Buol menjadi daerah urutan pertama dengan jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak yakni sebanyak 68 kasus ditahun 2020, padahal pemimpin DPRD nya perempuan, kasus kekerasan tidak melulu hanya persoalan tindakan kriminal, namun ada hal lain yang lebih mendesak yaitu ketimpangan ekonomi, sehingga angka kasus tersebut paling banyak kekerasan dalam rumah tangga sesuai rilis Kepala DP3A Sulteng.
Dua periode kepemimpinan DPRD sebagai corong aspirasi rakyat dipimpin oleh perempuan, namun tak mampu meningkatkan kemajuan produktivitas perempuan, seperti pengembangan ekonomi home industri, pengembangan produk lokal hasil dari keterampilan perempuan, pemberdayaan dan pengorganisasian perempuan dalam mengawal kebijakan pemerintah. Serta hal yang mampu mendorong tingkat partisipasi perempuan dalam politik.
Sehingga perempuan tak hanya dijadikan sebagai formalitas untuk memenuhi syarat partai politik, tapi benar-benar siap dan maju secara landasan ideologi dan perjuangan ketika berada di parlemen.
Saat ini, Dari 25 Anggota DPRD Buol terdapat 4 perwakilan perempuan dan salah satunya sebagai pucuk pimpinan, kurangnya keterlibatan perempuan didalam parlemen akibat regulasi yang mengatur perempuan sangat lemah, sehingga kepentingan yang dibawah kedalam sistem negara lebih cenderung kepentingan partai dan barisan oligarki daripada kepentingan gender.
Partai politik saat ini hanya menjadi bidik oligarki untuk melanggengkan kepentingannya menguasai sumberdaya potensial.
Perempuan tidak bisa berdiam diri dan terjebak pada urusan sumur, dapur dan kasur, kedepan harus mengisi seluruh lini ruang publik, terpenting urusan politik agar terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan demi mengembalikan marwah perjuangan perempuan.
Tentunya, dalam politik harus selektif memilih partai yang tidak hanya membawa kepentingan warna atau sekelompok orang, namun benar benar membawah kepentingan rakyat khususnya membebaskan perempuan dalam cengkraman patriarki dan kekerasan.
Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik saat ini menurun akibat tak mampu menjadi wadah perjuangan rakyat, sehingga pilihannya ialah mesuk ke partai alternatif yang menjadi wadah perjuangan rakyat dan tidak bisa di intervensi oleh oligarki.